Teologi ini berpijak pada prinsip humanitas dan universalitas Islam. Dalam analisis Nurcholish, pandangan seperti ini, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah amat relevan untuk dikembangkan pada zaman sekarang, yaitu zaman globalisasi di mana umat manusia hidup dalam sebuah “desa buwana” (global village). Dalam desa buwana, kata Nurcholish, manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sam lain, tetapi sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung. Maka, sebagai solusi, diperlukan sikap-sikap pengertian dan paham dengan kemungkinan mencari titik kesamaan atau kalimatun sawa’.Salah satu ciri mendasar teologi ini adalah memberikan formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka (open religion).Keterbukaan bahkan merupakan sikap yang dianut umat Islam.Sikap ini harus ditonjolkan, mengingat kondisi umat Islam dan masyarakat Indonesia yang pluralis.Dalam masyarkat demikian kata Nurcholish, umat Islam seharusnya bisa memberikan teladan sebagai “mediator atau penengah (wasith) antara berbagai kelompok umat manusia, dan diharapkan untuk menjadi saksi yang adil dan fair dalm hubungan antar kelompok itu. Prinsip Islam seperti itu, tentu saja, menolak eklusivisme dan absolutisme. Sebaliknya ia justru memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap pluralisme. Dalam perspektif ini, kata Nurcholish, umat Islam harus menjadi golongan terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan bersikap sebagai pamong yang bisa ngemong golongan-golongan lain. Sementara penolakan terhadap absolutisme mengandung makna bahwa Islam itu memberikan tempat yang tinggi yakni paradigma tentang etos gerak yang dinamis dalam ajaran Islam.[1]
Teologi Inklusif memberi tempat pada pluralisme dan kebhinekaan.Pluralitas atau kemajemukan adalah kehendak Tuhan yang tidak mungkin ditolak.Sikap itu pada hakikatnya tidak cukup diwujudkan hanya dengan mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk. Tapi kata Nurcholish, harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan bahwa kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang heterogen. Pluralisme dipahami sebagai suatu “Pertemuan sejati dari keberagaman ikatan-ikatan kesopanan” (Bond of civility).Suasana kemajemukan mesti dipahami sebagai refleksi fundamental dari ideology kemajemukan itu sendiri. Ia bukan sesuatu yang bersifat prosedural belaka, tetapi pandangan hidup yang berakar dalam ajaran agama yang benar. Dalam kata-kata Nurcholish, “pluralisme tidak boleh dipahami sekedar “kebaikan negatif” (Negative good), hanya ditilik dari kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme (to kep fanatism at bay).Secara teologis, pluralisme bisa dipahami sebegai sumber daya dalam rangka mewujudkan tujuan utama Al-Qur’an, yakni membangun masyarakat adil, terbuka, dan demokratis. Posisi pluralisme, dengan demikian, hanyalah sebatas formasi social (social formation), prakondisi, dan elemen yang mutlak diperlukan bagi terciptanya tujuan utama Al-Qur’an tadi.Apalagi, seperti kata James P. Piscatori, kondisi sosal budaya yang majemuk selalu memerlukan titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok.Itu berarti semakin menegaskan, bahwa masyarakat adil, terbuka dan demokratis hanya bisa terwujud dalam formasi sosial yang bercorak pluralistik.“Pluralisme bahkan merupakan keharusan bagi umat manusia melalui mekanisme pengawasan dan pengembangan yang dihasilkannya” tegas Nurcholish.[2]
Menurut Nurcholish, Islam pluralisme adalah bagaimana kaum Muslimin mengadaptasikan diri dengan dunia modern. Pluralisme Islam dapat terus menerus ditranformasikan ke dalam pluralisme modern.Dan ini, pada gilirannya, “melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, bagaimana mereka memandang dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normative dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.” Proyek besar ini tampaknya lebih tertuju pada persoalan bagaimana merekonstruksi “Islam doktrin” dan “Islam sejarah” agar bisa mendukung konsep-konsep politik modern yang sangat menekankan pluralisme dan toleransi. Konsep-konsep politik yang dimaksud tidak lain kecuali demokrasi. Nurcholish sangat yakin dengan paham ini karena dalam kenyataannya, problem mendasar umat Islam diabad modern sekarang ini dan dalam realitas kehidupan Indonesia, ialah bagaimana merespon dan menyikapi pluralisme.Karena itu, kenyataan pluralisme masyarakat Indonesia harus menjadi landasan sosial untuk menampilkan Islam secara inklusif, terbuka, dan demokratis, serta mewadahi semua unsur masyarakat dalam satu bangunan tunggal yaitu bangsa Indonesia. Di sini pancasila menjadi landasan kukuh bagi pengembangan toleransi beragama dan pluralisme di Indonesia.Pancasila dinilai Nurcholish tidak bertentangan dengan Islam, melainkan mencerminkan, dan karenanya sangat mirip dengan anjuran dan prinsip-prinsip dalam Al-qur’an.Meskipun umat Islam mayoritas di Negara ini, sebaiknya tidak bersikap ekslusif, karena hal itu bisa mengganggu hubungan social dalam semangat keutuhan sebagai bangsa.Jalan ke arah itu, umat Islam harus memahami mana “kemenangan Islam” secara lebih terbuka.[3] Nurcholish menulis:
Kemenangan Islam tidaklah sama dengan kemenangan umat Islam, apalagi pribadi-pribadi. Kemenangan Islam adalah kemenangan sebuah ide, sebuah cita-cita, terserah siapa orangnya, yang melaksanakan ide itu. Kemenangan Islam harus merupakan kebahagiaan bagi setiap orang malah setiap makhluk. Kemenangan islam tidak boleh diwujudkan dalam bentuk mengancam golongan ini.
Kesadaran bahwa Islam merupakan agama yang terbuka, dan karenanya umat Islam, harus menjadi golongan yang terbuka, dan melahirkan rasa percaya diri, penuh keyakinan, dan mampu bersikap arif dalam menyikapi berbagai perkembangan yang ada.Pandangan ini tercermin juga pada sikap Nurcholish dalam politik. Nurcholish, secara tegas tidak setuju terhadap paradigma politik Islam formalistik. Sebaliknya, ia tetap mendukung paradigma politik yang menekankan proses subtansialisasi nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan kebangsaan. Aspek-aspek keislaman yang bersifat simbolik menjadi kurang penting dan tidak signifikan.Formalism dan legalisme seperti tersermin dalam pembentukan partai politik Islam atau Negara Islam dinilai sangat tidak strategis. Terbukti ketika sebagian umat Islam cenderung lebih mengutamakan formalisme dan legalisme, yang terjadi justru proses alienasi politik dalam kurun waktu yang sangat lama. “Umat Islam berkembang luas justru ketika meninggalkan kancah politik praktis”, ujar Lukman Harun.“Kecurigaan-kecurigaan pemerintah terhadap Islam”, lanjutnya, “lenyap begitu Islam melepaskan diri dari penjara politik.” Akhirnya, bagi Nurcholish, makna mendasar pandangan subtansialis ini adalah anti tesis dari segala hal yang lebih bersifat syari’ah.Yakni bagaimana Islam bisa dinikmati bukan hanya oleh kalangan umat Islam sendiri.Di sini Nurcholish menyebut fungsi dan peran Islam dalam sebuah konsep yang sesungguhnya telah menjadi konvensional (rahmatan lil ‘alamin). Dengan konsep ini, Nurcholish ingin meringkas seluruh pemikirannya tentang Islam, bahwa inti yang abadi dan universal dari ajaran ketauhidan itu adalah “untuk alam semesta, untuk kebaikan semua orang,” dan dengan demikian, tanpa pengecualian dari kalangan agama apapun. Dengan penekanan ini, Nurcholish ingin membebaskan pengertia Islam dari penjara partikularisme.Atas dasar visi Islam Universal inilah, kendati kerap penuh terjal dan liku, Nurcholish terus meretas jalan menuju demokrasi tanpa mengenal “kelelahan intelektual”.[4]
Sumber Gambar: booklikes.com
Teologi Inklusif memberi tempat pada pluralisme dan kebhinekaan.Pluralitas atau kemajemukan adalah kehendak Tuhan yang tidak mungkin ditolak.Sikap itu pada hakikatnya tidak cukup diwujudkan hanya dengan mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk. Tapi kata Nurcholish, harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan bahwa kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang heterogen. Pluralisme dipahami sebagai suatu “Pertemuan sejati dari keberagaman ikatan-ikatan kesopanan” (Bond of civility).Suasana kemajemukan mesti dipahami sebagai refleksi fundamental dari ideology kemajemukan itu sendiri. Ia bukan sesuatu yang bersifat prosedural belaka, tetapi pandangan hidup yang berakar dalam ajaran agama yang benar. Dalam kata-kata Nurcholish, “pluralisme tidak boleh dipahami sekedar “kebaikan negatif” (Negative good), hanya ditilik dari kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme (to kep fanatism at bay).Secara teologis, pluralisme bisa dipahami sebegai sumber daya dalam rangka mewujudkan tujuan utama Al-Qur’an, yakni membangun masyarakat adil, terbuka, dan demokratis. Posisi pluralisme, dengan demikian, hanyalah sebatas formasi social (social formation), prakondisi, dan elemen yang mutlak diperlukan bagi terciptanya tujuan utama Al-Qur’an tadi.Apalagi, seperti kata James P. Piscatori, kondisi sosal budaya yang majemuk selalu memerlukan titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok.Itu berarti semakin menegaskan, bahwa masyarakat adil, terbuka dan demokratis hanya bisa terwujud dalam formasi sosial yang bercorak pluralistik.“Pluralisme bahkan merupakan keharusan bagi umat manusia melalui mekanisme pengawasan dan pengembangan yang dihasilkannya” tegas Nurcholish.[2]
Menurut Nurcholish, Islam pluralisme adalah bagaimana kaum Muslimin mengadaptasikan diri dengan dunia modern. Pluralisme Islam dapat terus menerus ditranformasikan ke dalam pluralisme modern.Dan ini, pada gilirannya, “melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, bagaimana mereka memandang dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normative dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.” Proyek besar ini tampaknya lebih tertuju pada persoalan bagaimana merekonstruksi “Islam doktrin” dan “Islam sejarah” agar bisa mendukung konsep-konsep politik modern yang sangat menekankan pluralisme dan toleransi. Konsep-konsep politik yang dimaksud tidak lain kecuali demokrasi. Nurcholish sangat yakin dengan paham ini karena dalam kenyataannya, problem mendasar umat Islam diabad modern sekarang ini dan dalam realitas kehidupan Indonesia, ialah bagaimana merespon dan menyikapi pluralisme.Karena itu, kenyataan pluralisme masyarakat Indonesia harus menjadi landasan sosial untuk menampilkan Islam secara inklusif, terbuka, dan demokratis, serta mewadahi semua unsur masyarakat dalam satu bangunan tunggal yaitu bangsa Indonesia. Di sini pancasila menjadi landasan kukuh bagi pengembangan toleransi beragama dan pluralisme di Indonesia.Pancasila dinilai Nurcholish tidak bertentangan dengan Islam, melainkan mencerminkan, dan karenanya sangat mirip dengan anjuran dan prinsip-prinsip dalam Al-qur’an.Meskipun umat Islam mayoritas di Negara ini, sebaiknya tidak bersikap ekslusif, karena hal itu bisa mengganggu hubungan social dalam semangat keutuhan sebagai bangsa.Jalan ke arah itu, umat Islam harus memahami mana “kemenangan Islam” secara lebih terbuka.[3] Nurcholish menulis:
Kemenangan Islam tidaklah sama dengan kemenangan umat Islam, apalagi pribadi-pribadi. Kemenangan Islam adalah kemenangan sebuah ide, sebuah cita-cita, terserah siapa orangnya, yang melaksanakan ide itu. Kemenangan Islam harus merupakan kebahagiaan bagi setiap orang malah setiap makhluk. Kemenangan islam tidak boleh diwujudkan dalam bentuk mengancam golongan ini.
Kesadaran bahwa Islam merupakan agama yang terbuka, dan karenanya umat Islam, harus menjadi golongan yang terbuka, dan melahirkan rasa percaya diri, penuh keyakinan, dan mampu bersikap arif dalam menyikapi berbagai perkembangan yang ada.Pandangan ini tercermin juga pada sikap Nurcholish dalam politik. Nurcholish, secara tegas tidak setuju terhadap paradigma politik Islam formalistik. Sebaliknya, ia tetap mendukung paradigma politik yang menekankan proses subtansialisasi nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan kebangsaan. Aspek-aspek keislaman yang bersifat simbolik menjadi kurang penting dan tidak signifikan.Formalism dan legalisme seperti tersermin dalam pembentukan partai politik Islam atau Negara Islam dinilai sangat tidak strategis. Terbukti ketika sebagian umat Islam cenderung lebih mengutamakan formalisme dan legalisme, yang terjadi justru proses alienasi politik dalam kurun waktu yang sangat lama. “Umat Islam berkembang luas justru ketika meninggalkan kancah politik praktis”, ujar Lukman Harun.“Kecurigaan-kecurigaan pemerintah terhadap Islam”, lanjutnya, “lenyap begitu Islam melepaskan diri dari penjara politik.” Akhirnya, bagi Nurcholish, makna mendasar pandangan subtansialis ini adalah anti tesis dari segala hal yang lebih bersifat syari’ah.Yakni bagaimana Islam bisa dinikmati bukan hanya oleh kalangan umat Islam sendiri.Di sini Nurcholish menyebut fungsi dan peran Islam dalam sebuah konsep yang sesungguhnya telah menjadi konvensional (rahmatan lil ‘alamin). Dengan konsep ini, Nurcholish ingin meringkas seluruh pemikirannya tentang Islam, bahwa inti yang abadi dan universal dari ajaran ketauhidan itu adalah “untuk alam semesta, untuk kebaikan semua orang,” dan dengan demikian, tanpa pengecualian dari kalangan agama apapun. Dengan penekanan ini, Nurcholish ingin membebaskan pengertia Islam dari penjara partikularisme.Atas dasar visi Islam Universal inilah, kendati kerap penuh terjal dan liku, Nurcholish terus meretas jalan menuju demokrasi tanpa mengenal “kelelahan intelektual”.[4]
Baca Juga: Konteks Islam Inklusif dalam Pendidikan
[1] M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid Neo-modernisme Islam Dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002), hal. 101-102.
[2] Ibid., hal. 103.
[3] Ibid., hal. 104.
[4] Ibid., hal. 104-105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar