Tafsir Bil Ma'tsur - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Senin, 14 Desember 2015

Tafsir Bil Ma'tsur

Pengertian Tafsir bil Ma’tsur

Ada beberapa tafsir Al-Qur’an dan salah satunya adalah tafsir bil ma’tsur.

Tafsir bil ma’tsur adalah keterangan-keterangan dan perincian-perincian yang ada dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur’an sendiri dan apa yang dinukilkan (dikutip) dari hadits-hadits Rasulullah SAW dan dari ucapan para sahabat r.a. sedangkan penafsiran yang berdasarkan penukilan dari para tabi’in, masih terdapat perselisihan mengenainya. Sebagian ulama ada yang menggolongkannya sebagai tafsir bil ma’tsur dan sebagian lagi menggolongkannya sebagai tafsir bir ra’yi. Yang benar ialah bahwa sesungguhnya tafsir yang dinukil dari kalangan tabi’in itu termasuk tafsir bil ma’tsur dan tafsir dengan nukilan dari para tabi’in ini telah digunakan oleh Imam ibnu Jarir Ath-Thabary dalam tafsirnya yang besar itu, demikian juga sebagian besar mufassir pada galibnya menggunakan tafsir bil ma’tsur.


sumber gambar: mahad-aly.sukorejo.com

Berdasarkan hal ini dan juga pertimbangan yang gambling, maka tafsir bil ma’tsur meliputi tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir dengan nukilan Nabi SAW, tafsir dengan nukilan dari para sahabat dan tafsir dengan nukilan dari para tabi’in.[1]

Ada juga yang mengartikan tafsir bil ma’tsur yaitu penjelasan terhadap makna ayat dengan memanfaatkan apa yang dikemukakan Allah dalam Al-Qur’an, as-sunnah maupun pernyataan para sahabat ra.[2]

Tafsir bil ma’tsur merupakan penafsiran yang telah diberiakn Nabi dan sahabat. Penafsiran Al-Qur’an berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi berupa Al-Quran dan sunnah, serta pendapat sahabat yang menurut al-hakim sama nilainya dengan mafu’. Dalam hal yang pertama al ma’tsur menjadi sifat bagi tafsir, kedua menjadi sifat bagi sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran. Jika yang pertama diterima maka tafsir bil ma’tsur ialah sesuatu yang telah baku dan tidak dapat dikembangkan lagi. Dalam hal ini tugas mufassir hanya menyatakan shahih atau tidak. Apabila pernyataan yang kedua yang diterima maka tafsir tersebut dapat berkembang sesuai tuntutan zaman karena terbuka bagi mufassir untuk mngembangkan pemikiran dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Walaupun pengertian yang kedua memberikan peluang bagi ulama untuk berijtihad namun tidak sampai pada tafsir bir ra’y. Tafsir bil ma’tsur tetap menjadi dasar sedangkan ar ra’y dari ijtihad kemudian dicari argumen berupa ayat Al-Quran, sunnah nabi, dan lain-lain.[3]

Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti dan diambil, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang shahih. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam Kitabullah. Kata Ibnu Abbas, Tafsir itu ada empat macam bentuknya, benuk yang dikenal oleh orang Arab dari kata-katanya. Tafsir yang tidak menjadi halangan karena jahilnya seseorang. Ada tafsir itu diketahui oleh Ulama-ulama saja. Dan ada pula tafsir itu yang tidak diketahui oleh seorang juga selain Allah SWT.

Adapun tafsir yang diketahui oleh orang Arab ialah tafsir yang dikembalikan kepada ucapan mereka dengan penjelasan bahasa.

Dan yang menjadi uzur bagi seseoang karena jahilnya yaitu apa yang cepat dipahami artinya itu dari nash-nash yang mengandung syari’at, hukum dan dalil-dalil tauhid.

Adapun yang tidak diketahui slain Allah itu ialah hal-hal yang ghaib seperti terjadinya kiamat dan mengenai hakikat roh. Adapun apa yang diketahui ulama yaitu yang dikembalikan kepada ijtihad mereka. Berdasarkan bukti-bukti dan dalil-dalil, bukan hanya semata-mata ra’i, dari keterangan mujmal, atau mentakhirkan a’m, atau hal-hal yang seperti itu.[4]

Baca Juga: Para Sahabat yang Menggunakan Tafsir bil Ma'tsur

[1]Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an (Perkenalan dengan Metodologi Tafsir) cetakan pertama  di terjemahkan dari At-Tafsir wa Manahijuh (Bandung: Pustaka Bandung, 1987), hal.24.
[2]Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hal. 199.
[3]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 43-44.
[4]Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 cetakan pertama  (Jakarta: PT. Rineva Cipta, 1995), hal. 191-192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar