Cara atau Metode dan Contoh Tafsir bil Ma'tsur - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Selasa, 15 Desember 2015

Cara atau Metode dan Contoh Tafsir bil Ma'tsur


Ada beberapa macam cara atau metode dalam tafsir bil ma’tsur, yaitu:

1. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Al-Qur’an itu, sebagaimana diketahui, sebagian ayatnya merupakan tafsiran bagi sebagian yang lain. Yang dimaksudkan ialah bahwa sesuatu yang disebutkan secara ringkas disatu tempat diuraikan ditempat yang lain; suatu ketentuan yang berbentuk mujmal (global) mengenai suatu masalah, dijelaskan dalam topik yang lain; sesuatu yang bersifat umum dalam sebuah ayat, ditakhsish (dijadikan khusus) oleh ayat lainnya; sesuatu yang berbentuk mutlak disatu pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas) mengenainya. Berdasarkan hal ini, maka seorang mufassir yang hendak menafsirkan Al-Qur’an hendaklah melihat dahulu dalam Al-Quran, mengumpulkan ayat-ayat yang bersama-sama menyangkut sebuah topik dan merujuk-silangkan (crossreferencing) satu kepada yang lainnya untuk memperoleh keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebut secara ringkas, dengan bantuan berbagai ayat tersebut; atau untuk memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang mujmal; untuk menghubungkan sesuatu yang nampak mutlak dengan keterangan yang tidak mutlak (muqayyad), yang umum dengan yang khusus, inilah maksud dan sifat dari apa yang di sebut “menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an”[1]

Sumber Gambar: www.jadipintar.com

2. Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah

Jenis yang kedua dari tafsir bil ma’tsur ialah “tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah”, yang dilakukan jika tidak di peroleh penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.[2]

3. Tafsir Sahabat

Apabila kita tidak menemukan tafsiran dalam Al-Qur’an maupun Sunnah serta hadits-hadits yang telah ditetapkan dari Rasulullah SAW, maka hendaknya kita kembali kepada keterangan-keterangan yang shahih dan yang telah ditetapkan dari para sahabat yang terkemuka, karena merekalah yang pernah bersama Rasulullah SAW, bergaul dengan beliau dan menghayati petunjuk-petunjuk beliau.[3]

Contoh-contoh Tafsir Bil Ma’tsur
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:

ا هْدِنَا الصرَاط الْمُستَقِيمَ صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْت عَلَيْهِمْ غَيرِ الْمَغْضوبِ عَلَيْهِمْ وَ لا الضالِّينَ

“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karunia nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pila jalan orang-orang yang sesat”. (QS. Al-Fatihah,{2}: 6-7)

“Orang-orang yang telah Engkau karunia nikmat” dalam ayat diatas ditafsirkan dengan firman Allah:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهُ وَالرَّسُول فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّ يقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya, maka mereka adalah bersama orang-orang yang mendapatkan nikmat dari Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang selalu membenarkan apa yang benar (tanpa reserve), orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang saleh. Mereka itulah sebaik-baik sahabat” (QS. An-Nisa’, {4}:69)[4]

Contoh lainnya adalah: 


Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".(Qs. Al Kahfi [18]:72-73)

Allah Ta’ala berefirman, ketika Musa mengatakan ucapan itu kepada orang alim,

“Dia (Khidir) berkata, ‘Bukankah aku telah berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” Maskudnya adalah, terhadap perbuatanku yang kamu lihat, karena kamu tidak memiliki tentang hal itu’.”

“Musa berkata, ‘janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku’.”

Ahli ta’wil berbeda pendapat tentang dua makna tersebut. Sebagian berpendapat ucapan Musa kepada orang alim ini sebagai abntahan, bukan karena ia lupa pada janjinya, karena oran alim berkata,


“Jika kamu mengikutiku maka janganlah kamu mengatakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkan kepadamu.” Mereka berpendapat demikkian menyebutkan riwayat berikut ini:

Aku diberi tahu dari Yahya bin Ziyad, ia berkata: Yahya bin Al Mahlab menceritakan kepadaku dari seseorang, dari Sa’id bin Jubair, dari Ubay bin Ka’ab bil Al Anshar, mengenai firman Allah,

“ Janganlah Kamu menhukum aku karena kelupaanku...” ia berkata, “tidak lupa, tapi ucapan itu sebagai bantahan.”

Ahli Ta’wil lainya berpendapat bahwa maknanya adalah, jangan kamu menghukumku karena aku telah meninggalkan janjiku. Mereka mengartikanya makna lafadz النسيان dalam ayat ini dengan meninggalkan. Mereka yang berpendapat demikian dengan menyebutkan ayat ini.

Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Ishaq menceritakan kepadaku dari Al Hasan bin Imarah, dari Al Hakam, dari Sa’id ibn Jubair, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah,

“Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku..” Ia berkata, “ Maksudnya adalah, karena kau telah melanggar janjiku”

Penakwilan yang tepat pada ayat tersebut diatas adalah, Musa meminta kepada orang alim tersebut agar tidak menghukumnya karena lupa pada janjinya, yaitu pertanyaan pada orang alim tentang apa dan sebab perbuatanya. Bukan karena sebab perbuatanya, bukan karena sekedar bertanya, karena ia ingat dengan janjinya. Itulah makna hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, sebagaiamana dijelaskan dalam riwayat berikut ini:

Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Adam menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Uyainah menceritakan kepada kami dari Amr bin Dinar, dari Said bin Jubair, dri Ibnu Abbas, dari Ubay bin Ka’b, dari Rasulullah SAW, mengenai firman ayat ini
“Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku....” Beliau bersabda ,“Yang pertama karena Musa lupa”.

Takwil firman Allah:  
(Dan janganlah kamu membebani aku dengan dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku)

Yakni: Janganlah kamu membebaniku dengan suatu yang berat dalam urusanku dan jangan mempersempit urusanku kepadamu ketika aku menemanimu.[5]

1. Sebab-sebab Kelemahan Riwayat dengan Ma’tsur

Penafsiran Alquran dengan Alquran dan penafsiran Al-Qur’an dengan Sunah yang shahih lagi marfu’ sampai kepada Nabi SAW adalah tidak perlu diragukan lagi untuk diterima dan tidak perlu diperselisihkan. Dan keduanya adalah tafsir yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Adapun Al-Qur’an dengan ma’tsur shahabat atau tabi’in ada beberapa kelemahan dari berbagai segi:
Campur baur antara yang sahih dan tidak sahih, sahabat atau tabi’in dengan tidak mempunyai sandaran dan ketentuan, yang akan menimbulkan pencampur-adukan antara yang hak dan batil.
Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyaat dan khurafaat yang bertentangan dengan akidah islamiah.
Ketika di kalangan sahabat ada golongan yang ekstrim, mereka mengambil beberapa pendapat dan membuat-buat kebatilan yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat. Musuh-musuh Islam dari orang-orang zindiq ada yang mengicuh sahabat dan tabi’in sebagaimana mereka mengicuh Nabi SAW perihal sabdanya, hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama dengan jalan menghasut dan membuat-buat hadis. Tentu hal ini perlu diwaspadai.[6]


[1] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an (Perkenalan dengan Metodologi Tafsir) cetakan pertama  di terjemahkan dari At-Tafsir wa Manahijuh (Bandung: Pustaka Bandung, 1987), hal. 24-25.
[2] Ibid., hal.27.
[3] Ibid., hal. 33.
[4] Ibid., hal. 25-26.
[5] Abu Ja’far Muhammad Athabari, Tafsir At Thabari: Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an, Terj. Ahsan Askan,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jil. 17, hal. 290-293.
[6] http://maragustamsiregar.wordpress.com/2010/12/27/metode-metode-tafsir-alquran-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/

3 komentar: