Pragmatisme John Dewey - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Jumat, 18 Desember 2015

Pragmatisme John Dewey

Pragmatisme sangat berpengaruh di Amerika. Salah satu tokohnya yang terkenal ialah John Dewey (1859-1952). Tentang Dewey, Charles Patterson berpendapat bahwa ia adalah seorang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan filsafat Amerika dan menjadi seorang pejuang dalam “pendidikan progresif” secara luas. John Dewey adalah seorang filsuf asal Amerika, yang lahir di Burlington, Vermont, pada tahun 1859. John Dewey bukan hanya aktif sebagai seorang penulis atau filsuf, tetapi aktif juga sebagai seorang pendidik dan kritikus. Ia pada mulanya banyak mempelajari filsafat Hegel. Namun kemudian ia bersifat kritis terhadap filsafat Hegel karena melihat bahwa aliran idealisme ini terlalu menutup lingkungan hidup manusia pada dimensi kognitif intelektual semata-mata. John Dewey sangat prihatin dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan pemerintahan. Ia begitu tertarik untuk melakukan pemecahan terhadap masalah-masalah pertumbuhan sosial melalui eksperimentasi ilmiah.[1]

Pragmatisme (John Dewey) menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas, merdeka, kreatif serta dinamis. Manusia memiliki kemampuan untuk bekerja sama, dengannya ia membangun masyarakatnya. Pragmatisme mempunyai keyakinan bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar. Karena itu, ia dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam diri dan lingkungannya sendiri.[2]
 
Sumber Gambar: catatansederhanakomara.blogspot.com

John Dewey adalah seorang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.[3]

Dan tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisika yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma dan nilai. Menurut Dewey, pemikiran berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak tersebut dibangkitkan segera ketika dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya. Dan, gerak tersebut berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia atau dalam diri kita sendiri.[4]

Walaupun Dewey seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah satu kunci dalam filsafat intrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada pengalaman penyelidikan serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.

Instrumentalisme merupakan suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.

Dalam pandangan ini, maka yang benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan yang sekali ditentukan kemudian tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam praktiknya kebenaran itu memiliki nilai fungsional tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah. Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata “futurisme”, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, “milionarisme”, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William James.[5]


[1] Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara kultural, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 102
[2] Ibid., hal. 103
[3] Juhaya S. Praja, Aliran- Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 173.
[4] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 184.
[5] Juhaya S. Praja, Aliran- Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 173-174.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar