Komponen Resiliensi - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Kamis, 24 Desember 2015

Komponen Resiliensi

1. Regulasi emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.

 Sumber Gambar: muhammadrezkihr.blogspot.com

2. Pengendalian impuls

Mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

3. Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.

4. Empati

Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Selain itu, Werner dan Smith menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.

5. Analisis penyebab masalah

Seligman mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.

Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara. 3) Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.

6. Efikasi diri

Mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.

7. Peningkatan aspek positif

Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.[1]
 
Contoh-contoh perilaku resiliensi

Dalam lingkungan kita mungkin sering terjadi perilaku-perilaku resiliensi, yang kadang tidak disadari oleh diri sendiri dan orang lain. Beberapa contoh perilaku resiliensi, antara lain:

1. Resiliensi yang terjadi pada anak jalanan. Dimana anak jalanan mudah terkena masalah-masalah baik berasal dari keluarganya ataupun dari kehidupan di jalanan itu sendiri. Kemudian, bagaimana anak-anak itu mengatasi segala konsekuensi dari masalah-masalah di keluarga ataupun masalah di jalanan. Kemampuan anak yang telah mengalami keburukan dimasa kecil namun tetap mencapai keberhasilan dimasa dewasa adalah sebagai kekuatan atau daya untuk mampu mencegah, meminimalkan, ataupun mengatasi peristiwa buruk yang telah terjadi pada dirinya. Kekuatan-kekuatan itu disebut dengan resiliensi.

2. Seseorang yang terkena penyakit HIV Aids, dimana sampai saat ini penyakit ini belum ditemukan obatnya. Namun, karena adanya dukungan dan cinta dari orang-orang terdekat serta adanya kekuatan yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri maka orang itu dapat bertahan dan mempunyai motivasi atau keinginan untuk sembuh.

3. Keterpurukan yang dialami oleh seorang siswa yang tidak lulus dalam mengikuti ujian nasional. Namun, siswa tersebut tetap bangkit untuk menatap hari esok. Berusaha agar ujian nasional berikutnya dapat berhasil. Dan karena keyakinan dari dirinya sendiri, serta dukungan dari orang lain maka dia tetap berusaha.
 
Faktor- faktor Resiliensi[2]

Secara umum resiliensi dipengaruhi oleh dua hal yaitu : pertama kemampuan adaptasi seseorang, ketika seseorang memiliki kemampuan adaptasi yang aik, namun tidak berada dalam kondisi yang beresiko maka beum dapat dikatakan sebagai seorang yang resilien. Kedua besarnya resiko yang dihadapi, ketika seseorang dalam keadaan yang beresiko namun ia tidak dapat beradaptasi dengan baik maka ia juga belum dapat dikatakan sebagai seorang yang resilien. Jadi, dengan melihat kemampuan adaptasi dan besarnya resiko yang dihadapi seseorang dapat mengetahui apakah ia seorang yang resilien atau tidak.

Grotberg menjelaskan faktor-faktor resiliensi yang apat membantu individu engatasi berbagai adversitis grotberg mengelompokkannya menjadi 3 faktor :

1. External support

Merupakan faktor-faktor diluar individu yang dapat meninkatkat kemampuan resilien. Grotberg menjelaskan sebagai I HAVE, yaitu :

a. Satu atau lebih anggota keluarga yang dapat dipercaya dan mencintai keluarga tersebut.

b. Satu atau lebih individu diluar keluarga yang dapat dipercaya.

c. Memiliki batasan bertingkah laku.

d. orang-orang yang memberikan semangat untuk mandiri.

e. Good role models.

f. Akses untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan dan sosial yang dibutuhka.

g. Keluarga komunitas yang stabil.

2. Inner Strength ( I AM)

Merupakan sesuatu yang dimiliki individu yang akan berkembang sepanjang waktu. Grotberg menjelaskannya sebagai kualitas yang dimiliki individu yang dijelaskan sebagai I AM. Diantaranya adalah kepercayaan diri atas kemampuan pribadi, optimis, disukai banyak orang, memiliki keinginan untuk eraih prestasi dimasa depan, empati dan kualitas diri lainnya.

3. Problem Solving ( I CAN) Yang termasuk dalam hal ini adalahkemampuan memunculkan ide-ide baru, mampu menyelesikan tugas, menggunakan humor untuk meredakan ketegangan, mampu menyampaikan pemikiran dan perasaan ketika berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan berbagai masalah (akademik, pekerjaan, personal, dan sosial), mampu mengendalikan tingkah laku (perasaan, impuls) serta mampu meminta bantuan ketika dibutuhkan.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi diakses tgl 18 april 2014
[2] Desmita, psikologi perkembangan peserta didik panduan bagi orang tua dan guru dalam memahai psikologi anak usia SD, SMP dan SMA, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011 cet. Ke 3), hal. 200-201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar