Konsep dan Tahapan Manusia Paripurna - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Senin, 21 Desember 2015

Konsep dan Tahapan Manusia Paripurna

Konsep Manusia Paripurna

Konsep manusia paripurna menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut:

1. Menurut Al-Ghazali

Konsep insan kamil adalah seorang yang telah mencapai ma’rifat billah, dimana orang-orang ini menurut al-Ghazali merupakan orang-orang suci yang mendapat ilmu-ilmu laduniyah langsung dari Allah setelah sebelum melewati latihan-latihan kerohanian yang serius dan melelahkan. Orang-orang suci tersebut selalu mensucikan hati mereka dari apa saja selain Allah dan senantiasa menenggelamkan (memusatkan) kesadaran hati dan bathin mereka hanya pada Allah dan dilaksanakan dengan wasilah dan membaca dzikir kepada Allah atau berulang-ulang mengucapkan lafadz Allah-Allah atau La Illaha Illalah, atau sebagainya. Dan sebagai efek atau hasil dari renungannya tersebut menurut al-Ghazali akan berkembang pada diri seseorang tersebut sikap dan perilaku serta kebiasaan-kebiasaan yang positif dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat dalam artiaan menumbuh kembangkan sifat-sifat terpuji dan sekaligus menghilangkan sifat tercela seperti ketaatan pada agama dan masyarakat, hidup tenang dan wajar, senang kebajikan, pandai menyesuaikan diri, dan bebas dari permusuhan.[1]

Sumber Gambar: saripedia.wordpress.com

2. Menurut Abraham Maslow

Hakikat kesempurnaan menurut Maslow adalah memenuhi prasarat untuk mencapai aktualisasi diri yaitu dengan memuaskan empat kebutuhan yang berada dalam tingkat yang lebih rendah, yaitu: kebutuhan-kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan cinta, kebutuhan akan berpenghargaan. Kebutuhan yang ada ditingkat dasar, pemenuhannya lebih mendesak daripada kebutuhan yang ada di atasnya, semakin individu memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, maka individu tersebut akan semakin mampu mencapai keadaan ideal yaitu kemanusiaan penuh yang merupakan hakikat dari kesempurnaan manusia.[2]

Dari kedua konsep yang telah dikemukakan kedu tokoh diatas yaitu dalam meraih kesempurnaan itu tidak bisa langsung diperoleh begitu saja, tetapi melalui tahapan-tahapan yakni bersifat hirarki dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.

Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)

Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah SWT

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)

Firman Allaah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasullulloh rahmatan lil ‘alamin. Muhammad adalah nabi akhiruzzaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi tedahulu yang diutus menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan peringatan, dan untuk menjadi penyeru agama Alloh dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.[3]

Muhammad yang dijuluki Alloh sebagai cahaya adalah nama yang menjadi figur sentral ajaran islam. Dalam berjanji di ibaratkan bagai cahaya purnama. Cahaya yang tidak menyilaukan, cahaya yang menyejukan, dan cahaya yang romantis. Jika manusia adalah sebaik-baik penciptaan maka Muhammad adalah sebaik-baik manusia. Tak ada manusia yang mampu menandingi penciptaan Muhammad secara lahiriah, juga sifat dan juga perbuatannya.

Kehidupan nabi Muhammad adalah rujukan bagi umat manusia. Cara makan dan minum adalah standar rujukan kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Demikian Alloh swt telah menjadikan suri tauladan bagi kita yang tak akan pernah berubah.

Tahapan Menjadi Manusia Sempurna

Menjadi manusia sempurna membutuhkan proses yang mana dalam proses tersebut ada beberapa tahap yang perlu dilalui, salah satunya menurut Muhammad Iqbal, yang berpandangan bahwa tahapan menjadi manusia sempurna yaitu sebagai berikut:

1. Patuh Terhadap Undang-Undang

Hukum yang diciptakan tidaklah untuk membuat manusia tidak teratur, justru sebaliknya dengan adanya hukum ego itu cenderung memiliki tata peraturan dalam pengembangannya dan merasa terlindungi didalamnya.Dalam penciptaan hukum itu btentunya banyak hal yang dipertimbangkan, diantaranya rasa mengohrmati kedudukan dan keberadaan ego manusia lain, rasa toleransi inilah yang dibutuhkan dalam mencapai suatu keseimbangan hidup sesama manusia.

2. Bentuk Kesadaran Tertinggi

Bentuk kesadaran tertinggi adalah kesadarn pribadi, dimana manusia dapat melihat hakikat yang tersimpan dalam dirinya, sebuah kesadaran yang tak didapati dalam ego-ego yang lain selain manusia. Ia sadar dengan apa yang ia pikirkan dan ia sadar dengan apa yang ia lakukan, dan ia juga sadar dengan keberadaan di tengah-tengah masyarakat sebagai makhluk yang berakal, berpikir, dan bebudaya. Kesadaran tersebut terbentuk karena adanya dua hal yang tidak kita dapat di makhluk lain di dunia yaitu pikiran dan qalb.

Dengan kedua hal itu, manusia berusaha untuk mengetahui hakikat suatu kebenaran secara utuh. Melalui akal ia memikirkan alam, manusia, dan sejarah, sedangkan menurut qalb nya ia memahami firman-firman tuhan dan sunatullah dalam alam semesta. Sehingga dengan itu manusia memiliki suatu perbuatan yang disadari, baik secara fikir ataupun qalb yang menciptakan kesadaran atau nilai-nilai intern dan ektern yang mengandung nilai estetika, etika, maupun logika.[4]

3. Pemimpin di Dunia

Dalam tahap akhir ini, Iqbal mengatakan bahwa Nabil ah sebagai ego yang paling sempurna yang diturunkan untuk Rahmatan Lil ‘Alamin sekaligus khalifah Tuhan dibumi, yang menjadi tujuan akhir umat manusia yang termaktub dalam kesempurnaan jasmani dan rohani.Karen dalam diri Nabi tertanam sifat yang selaras antara jasmani dan rohani.Ia adalah buah akhir dari pohon kemanuasiaan, ia juga penguasa dari manusia sejati, kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di muka bumi.

Dari gambaran diatas sangatlah jelas bahwasannya kesempurnaan manusia membawa pada terciptanya manusia sebagai khalifatullah dalam dunia.
Makna Penting Memahami Konsep Manusia Berbudaya

Dengan memahami konsep manusia berbudaya maka manusia dapat memperluas pandangan tentang masalah kemanusiaan dan budaya, serta lebih tanggung jawab terhadap masalah-masalah tersebut. Manusia juga dapat lebih peka terhadap nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat, saling menghormati, serta simpati pada nilai-nilai yang ada pada masyarakat.

Pentingnya memahami konsep manusia berbudaya juga agar manusia dapat mengembangkan daya kritis terhadap persoalan kemanusiaan dan daya kebudayaan. Menambah kemampuan untuk menanggapi masalah nilai-nilai budaya dalam masyarakat Indonesia dan dunia tanpa terikat oleh disiplin, mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang sedang membangun.

Dalam usaha manusia menemukan nilai-nilai yang sesuai dengan kedudukan sebagai makhluk berbudaya, baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial maupun makhluk ciptaan Tuhan. Dua kekayaan manusia yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain ialah akal dan budi, memungkinkan munculnya cipta (Kemampuan berpikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan), rasa (karya seni/ kesenian), dan karsa (Kehendak untuk hidup sempurna, mulia dan bahagia yang menimbulkan kehidupan beragama dan kesusilaan) pada diri setiap manusia. Karena akal dan budi ini lahirlah cara dan pola hidup manusia yang berbeda dengan cara dan pola hidup makhluk lain.

Disisi lain dengan memahami pentingnya konsep manusia berbudaya maka diharapkan semua masalah dapat diselesaikan secara manusiawi, dengan pengertian tidak sampai menimbulkan kerugian bagi semua pihak yang terlibat. Jangan sampai masing-masing pihak hanya memandang masalah itu dari segi kepentingannya sendiri, melainkan juga memikirkan kepentingan pihak lain. Sehingga menjadikan manusia yang lebih berbudaya dan manusiawi.[5] Langkah pertama yang harus dilakukan bagi yang berniat menjadi manusia yang berbudaya, manusia yang sadar akan peranannya sebagai pengemban nilai-nilai moral, ialah manusia yang selalu berusaha memperhatikan dengan sungguh-sungguh pentingnya akal dan budi dan menerapkannya. Harus melatih dirimengekangdanmengendalikanhawanafsudanberusahamembatasikeinginandalamsegalasegi. Tidakakan menginginkan sesuatu yang berlebihan kepada keadaan yang ada di atas kita dan mau ikhlas melihat yang ada di bawah, merupakansuatu latihan yang baik untuk memperhalus akal dan budi.[6]


[1] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, Menuju Psikologi Islami. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insan Kamil, 2001), hal. 85.
[2] Sulikha, Skripsi-Studi Komparasi Anatar Konsep Insan Kamil Menurut Al-Ghazali Dan Konsep Kesempurnaan Manusia Menurut Maslow, (Yogyakarta: UIN Suanan Kalijaga Fakultas Dakwah), hal. 45.
[3] http://laili-masruroh.blogspot.com/2013/01/manusia-paripurna.htm diakses 8 April 2014 (19:26).
[4] Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al Quran, (Yogyakarta: LeSFI, 1991), hal. 133.
[5] Djoko Widaghdo, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 7.
[6] Ibid., hal. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar