Konteks Islam Inklusif dengan Pendidikan - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Jumat, 18 Desember 2015

Konteks Islam Inklusif dengan Pendidikan

Kontekstualisasi Ajaran Islam

Islam datang sebagai salah satu agama yang dianut oleh umat manusia,tidaklahdatang dalam kondisi masyarakatyang hampa agama dan keyakinan.AlQur’an,yang diyakini sebagai firman Allah, keyataannya telah memasukiwilayah historis. Hal ini paling tidak dapatdibuktikan dengan beberapa hal: pertama,Allah telah memilih bahasa manusia(bahasa Arab) sebagai kode komunikasidengan pembawa risalah-Nya,MuhammadSAW. Kedua, keterlibatan Muhammad sebagai penerima pesan di satu sisi dansebagai penafsir di lain sisi ikutmenentukan proses sosial pengujaran dantekstualisasi al-Qur’an. Ketiga, sejak masa turunnya, al-Qur’an telah berdialog denganrealitas yang melingkupinya.Keempat,firman Allah tersebut telah direkam dalambentuk catatan atau teks.[1]

Sumber Gambar: integralist.blogspot.com

Menurut Cak Nur, periode ketika nabi Muhammad berada di Makkah menggambarkan sisi universalitas ajaran Islam, di mana prinsip-prinsip moral dan etika menjadi ciri khas ajaran yang ia sampaikan kala itu. Dalam perkembangannya, apa yang disampaikan Muhammad di Makkah nampaknya menjadi cikal bakal lahirnya ketentuan ketentuanIslam yang bersifat kehukuman (legalistik). Sejak periode Makkah, Muhammad sudah mengenalkan prinsip keadilan sosial, menghormati hak milikorang lain dan prinsip kesetaraan serta kebebasan. Mengingat bahwa prinsip-prinsipini bersifat sangat abstrak, makawajar apabila Muhammad kemudian merumuskan aturan-aturan yang lebih kongkret dan detail. Periode Madinaakhirnya dipilih oleh Muhammad sebagaiperiode yang tepat bagaimana rumusan-rumusanajaran Islam pada periode Makkah diejawantahkan dalam berbagaiaturan yang bersifat praktis.[2]

Pada perkembangan selanjutnya, apa yang dilakukan Muhammad ketika berada di Makkah dan Madinah, telah melahirkan sebuah disiplin ilmu keislaman yang kemudian dikenal dengan fikih. Ilmu ini dirumuskan dengan melihat praktik kaum muslimin yang ketika memahami dan melaksanakan aturan hukum melihat pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam kitab suci (al-Qur’an) dan apa yang diucapkan serta dipraktikkan Nabi. Selain itu mereka juga merujuk aktifitas kaum muslimin (khususnya sahabat nabi) yang hidup semasa dengan nabi atau berdomisili dekat dengan tempat tinggal nabi. Pendekatan dalam merumuskan hukum Islam seperti ini sangatdimungkinkan mengingat watak dankarakter dasar dari hukum Islam adalahlapang dan luwes. Dengan kedua karakterini hukum Islam selalu mampu beradaptasidengan setiap perkembangan zaman.[3]

Berangkat dari kenyataan bahwa tidak mungkin memisahkan ajaran Islam dari realitas, Cak Nur, dengan membenarkan pendapat Ibn Khaldun dan al-Syahrastani menyatakan bahwa terdapat pengaruh-pengaruh tertentu lingkungan hidup sekelompok manusia bagi perilaku keagamaannya. Hal ini bukan berarti pembatalan atas keuniversalan suatu agama, terlebih Islam. Persoalan yangmungkin akan terjadi hanyalah berkenaandengan munculnya keragaman dalam menerapkan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama. Dalam konteks Islam, munculnya keanekaragaman atau perbedaan bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan ia dipandang sebagai sesuatuyang bernilai positif sebagai rahmat dari Tuhan.[4]

Menyikapi apakah Islam mampu beradaptasi dengan dunia modern, Cak Nurselalu memiliki pandangan optimis.Mengutip apa yang disampaikan olehErnest Gelner, Cak Nur mengatakan bahwadi antara tiga agama moniteist atau abrahamic religion, yaitu Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam, agama yang disebutterakhir (Islam) adalah yang paling dekatdengan modernitas. Ini disebabkan olehkandungan ajaran Islam yang sarat denganpesan universalisme, skripturalisme,egalitarianism spiritual, dan mengandung ajaran tentang sistematisasi rasionalkehidupan sosial.[5]

Inklusifitas Ummat dalam Beragama

Sulit dipungkiri bahwa kita mengklaim bangsa indonesia adalah bangsa yang religius, toleran maupun bangsa yang sopan. Akan tetapi dari tiga klaim ini, kita ingin menunjukkan ada ketidak normalan yang sekiranya sulit untuk diterangkan. Misalnya, Kalau kita mengkalim negara yang sopan, agaknya perlu bercermin diri karena banyak orang yang tidak mematuhi lalu lintas kita.Dan kalau kita memang mengklaim negara yang religius, mengapa banyak sekali kecurangan yang merajalela, sampai kita disebut sebagai negara terkorup se dunia. Kalau memang kita ini negara yang toleran mengapa bisa terjadi kerusakan-kerusakan baik itu bernuansa agama maupun yang etnik seperti yang terjadi di kalimantan, situbondo, bali, dan sebagainnya. Kiranya memang kita perlu berdialog (sikap keterbukaan) terhadapagama agama yang lain, untuk menemukan suatu subtansi-subtansi antar agama.

Keterbukaan dalam pemikiran Cak Nur yang bisa saya kutip dari kata pengantar buku Tiga Agama Satu tuhan, Cak Nur menulis bahwa setiap agama merupakan jalan yang sama untuk menuju Tuhan. “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat Inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis.” Sebagai contoh filsafat perennial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari berbagai agamauntuk mencapai tuhan.Filsafat perennial juga membagi agama pada level esoteric (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relative sama dalam level esoterik. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.[6]

Pada dasarnya agama-agama tidak lain hanyalah jalan-jalan menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Oleh karenanya, konsep pluralisme terdapat unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atau suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia.Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis atau tradisional dan konservatif pada sumber ajaran Islam.[7]

Pluralisme agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata.Untuk mencari pemecahan atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun praktis dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antaragama. Antara lain dan paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana dialog antar umat beragama. Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog yang digarisbawahi oleh para ahli. Pertama adalah toleransi, dan Kedua adalah Pluralisme.[8]

Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan.Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[9]

Hubungan pemikiran cak nur dengan pendidikan

Harus kita pahami bahwa cak nur sudah mengantarkan kita ke pintu gerbang perubahan yang signifikan. Kita tidak boleh hanya bertumpu dan mnegklaim pada diri kita bahwa kita lah yang paling benar, kita lah pantas disurga dan sebagainya. Kita harus membuka diri bahwa manusia memerlukan suatu interaksi interaksi terhadap orang lain, agar membenahi apa yang sudah diketahuinya maupun yang belum diketahuinya. Pemikiran cak nur yang bertumpu pada keterbukaan atau yang disebut dengan inklusif, maka kita terapkan di dalam dunia pendidikan. Pendidikan bukan hanya memandang obyek saja, akan tetapi harus memandang apa yang ada dibelakang obyek tersebut. Dalam hal ini, dapat kita klarifikasi bahwa pendidikan harus bersifat FREE dalam artian biarkan anak memilih apa yang mereka suka jangan kita kekang anak didik kita dengan kemauan kita. Dari sinilah perlu pendidikan inklusif dimana keterbukaan seorang pendidik untuk membimbing dan mengrahkan anak didiknya di jalan yang ia senangi dan ia sukai.

[1] M. Imdadun Rahman, “Islam Pribumi; Mencari Wajah Islam Indonesia, (Jakarta: Tashwirul Afkar, 2003), hal. 15-16.
[2] Madjid, Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam”, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.), kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 239.
[3] Ali Yafie, Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 300.
[4] Madjid, Sejarah AwalPenyusunan dan Pembakuan Hukum Islam....hal.545.
[5] Jalaluddin Rahmat, dkk., Thariqat Nurcholis, (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2001), hal. 394.
[6] George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah Dialog, (Bandung; Mizan, 1998), hal. Xix.
[7] Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Bandung: Mizan, 2011), hal. 15.
[8] Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama...hal. 15.
[9] Ibid., hal. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar