Pandangan-pandangan HTI (2) - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Minggu, 20 Desember 2015

Pandangan-pandangan HTI (2)


Pandangan HTI Tentang Demokrasi

Istilah demokrasi sudah dikenal sejak abad ke-5 Masehi, sebagai respon terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani kuno. Namun ide-ide demokrasi modern baru berkembang dimulai abad ke-16 Masehi. Tokoh-tokohnya yaitu Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Baron de Montesquieu (1689-1755), dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Ide-ide tersebut merupakan respon terhadap monarki absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan gereja (teokrasi).[1]

Sikap atau pandangan HT terhadap demokrasi bisa dilihat dari tulisan Abdul Qadim Zallum dalam sebuah artikelnya berjudul “Demokrasi adalah Sistem Kufur”. Menurutnya demokrasi adalah salah satu ide yang disebarluaskan negara-negara Barat dalam invasi budaya mereka ke negeri-negeri kaum Muslim. Kemudian, demokrasi dalam arti sesungguhnya tidak pernah dan tidak akan pernah terealisasi. Tidak mungkin rakyat mengurus segalanya, yang ada hanyalah para pemimpin negara atau pemerintahan yang berkuasa atas segalanya dengan bersembunyi dibalik topeng demokrasi.[2]

Sumber Gambar: buktidansaksi.com

Selanjutnya, Zallum menyatakan bahwa Islam (tepatnya HT) mengharamkan demokrasi karena tiga alasan:[3]

1. Karena yang merekayasa dan berdiri di belakang ide-ide demokrasi adalah negara kafir Barat.

2. Demokrasi adalah pemikiran yang utopis, tidak layak diimplementasikan.

3. Sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia (man-made).

HT menganggap sistem demokrasi sebagai suatu sistem yang kufur karena bukan merupakan hukum syari’ah. Dalam Islam menurut HT, pembuat hukum dan perundang-undangan adalah Allah SWT., bukan manusia, rakyat atau umat, kedaulatan ada di tangan Allah SWT., bukan di tangan manusia, rakyat atau umat.[4]

Pandangan HTI Tentang Khilāfah

HTI berkeyakinan bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem khilāfah. Untuk memperkuat pendapatnya mereka mendasarkan pada ayat Al-Qur’an surat al-Māidah: 48, yang artinya: “Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”.[5]

Konsep khilāfah menurut HTI adalah sebagai berikut:[6]

1. Khalīfah
Menurut HTI, khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan hukum-hukum syari’ah. Seorang khalīfah diangkat oleh kaum Muslim dengan cara bai’at. Untuk menjadi seorang khalīfah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Khalīfah harus seorang Muslim, harus laki-laki, harus baligh, harus berakal, harus seorang yang adil, harus orang merdeka, dan harus yang mampu.

Menurut HTI, kaum Muslim di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu khalīfah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Rasulullah s.a.w., yang artinya:

“Siapa saja yang telah membai’at seorang imam/khalīfah, lalu ia telah memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang ornag lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah orang itu”. (HR. Muslim)

Seorang khalīfah tidak dibatasi masa jabatannya, tetapi seorang khalīfah bisa dipecat (dima’zulkan) apabila khalīfah kehilangan satu dari tujuh syarat di atas. Lembaga yang berhak memecat khalīfah adalah Mahkamah Mazālim (Mahkamah Agung).

2. Para Mu’āwin al-Tafwīd
Mu’āwin al-Tafwīd adalah pembantu yang telah diangkat oleh khalīfah untuk membantunya dalam mengemban tanggungjawab dan melaksanakan tugas-tugas kekhilafahan. Dengan demikian, khalīfah mendelegasikan kepada Mu’āwin al-Tafwīd pengaturan berbagai urusan menurut pendapatnya dan melaksanakannya berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syari’ah. Syarat-syarat seorang Mu’āwin al-Tafwīd sama dengan syarat-syarat seorang khalīfah.

Tugas-tugas Mu’āwin al-Tafwīd antara lain menangani:

a. Hubungan Internasional
b. Militer atau tentara
c. Aparat/instansi negara selain militer
d. Hubungan dengan rakyat.

3. Wuzarā’ al-Tanfīz
Wuzarā’ al-Tanfīz adalah pembantu khalīfah dalam kesekretariatan. Tugasnya menyangkut bidang administratif, dan bukan pemerintahan. Syarat seorang Wuzarā’ al-Tanfīz adalah laki-laki dan Muslim.

4. Para Wali
Wali adalah orang yang diangkat oleh khalīfah sebagai pengusaha untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi amir (pemimpin/gubernur) wilayah itu. Aktifitas wali wajib dikontrol oleh khalīfah dan para mu’āwinnya.

5. Amīr al-Jihād Amīr al-Jihād terdiri dari empat instansi, yaitu bidang luar negeri, peperangan, keamanan dalam negeri, dan industri.


[1] Saifuddin, Khilafah vis-a-vis Nation State Telaah atas Pemikiran, (Yogyakarta: Mahameru, 2012), hal. 62. 
[2] Ibid., hal. 64. 
[3] Ibid., hal. 65. 
[4] Ibid., hal. 66. 
[5] Ibid., hal. 66-67. 
[6] Ibid., hal. 68-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar