Sosialisasi Gender
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa gender bukanlah bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi dimasyarakat itu dinamakan sosialisasi gender. Dalam sosialisasi gender, agen sangat penting seperti sosialisasi-sosialisasi lainnya, agen ini adalah keluarga, kelompok bermain, sekolah dan media masa.[1]
1. Keluarga
Sosialisasi ini sama seperti yang lain bermula pada keluarga. Keluarga mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), yaitu proses pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelamin.
2. Kelompok Bermain
Kelompok bermain menjalankan peran cukup besar. Seperti anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki dan anak perempuan bermain dengan anak perempuan.
3. Sekolah
Sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, yaitu kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya, misalnya ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masing-masing dapat diberi pelajaran berbeda.
4. Media Masa
Media masa baik media cetak maupun media elektronik, sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender. Seperti iklan-iklan yang menyangkut tentang pembersih lantai, bumbu masak, peralatan rumah tangga dan lain sebaginya yang berhubungan dengan rumah tangga pasti model iklannya perempuan. Tetapi jika iklannya menyangkut kesuksesan, bisnis dan lain sebagainya pasti modelnya laki-laki.
Ketimpangan Gender
Gender inequalities (ketidakadilan gender) merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya, yaitu sebagai berikut:[2]
1. Marginalisasi. Sesungguhnya, timbulnya kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dan negara merupakan sebagai akibat dari proses marginalisai yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, antara lain penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Bentuk marginalisai yang paling dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender. Meskipun tidak setiap bentuk marginalisai perempuan disebabkan oleh gender inequalities (ketidakadilan gender), namun yang dipermasalahkan disini adalah bentuk marginalisai yang disebabkan oleh gender differences (perbedaan gender).
Gender differences ini bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara, jadi tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan.
2. Subordinasi. Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang dimaksud.
3. Stereotip. Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotip. Akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskrimanasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip ini adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk stereotip yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan kepada umunya kaum perempuan sehingga berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.
4. Violence (kekerasan) merupakan assault (invasi) atau serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasan ini seperti pemerkosaan dan pemukulan hingga bentuk yang lebih halus lagi, seperti sexual harassment (pelecehan seksual) dan penciptaan ketergantungan.
Menurut beberapa ahli ada tambahan manifestasi ketidakadilan gender, yaitu: Beban Ganda. Beban ganda adalah pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu memberatkan. Misalnya, adanya anggapan perempuan secara alamiah memiliki sifat memelihara, merawat dan lain-lain. Karena itu semua pekerjaan domestik tanggung jawab perempuan.[3]
Jadi, manifestasi ketidakadilan gender itu ada lima, yaitu: Marginalisasi, Subordinasi, Stereotip, Violence dan Beban Ganda.
Faktor-faktor Ketimpangan Gender
Ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:[4]
Sejak dulu banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, misalnya laki-laki selalu dianggap bertindak berdasarkan rasional, sedangkan kaum perempuan selalu mendahulukan perasaan. Disamping itu juga ada anggapan bahwa pantangan bagi laki-laki untuk bekerja didapur untuk memasak, mencuci, maupun melakukan kegiatan rumah tangga. Dikatakannya jika laki-laki berada didapur maka rejekinya akan susah.
Semua contoh-contoh diatas sebenarnya disebabkan karena negara Indonesia menganut hukum hegemoni patriarki, yaitu yang berkuasa dalam keluarga adalah bapak. Patriarki menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, iklan, agama dan lain sebagainya.
Selain itu juga ada penyebab lain, yaitu karena sistem kapitalis yang berlaku, yaitu sapa yang mempunyai modal besar itulah yang menang. Hal ini mengakibatkan laki-laki yang dilambangkan lebih kuat dari pada perempuan akan mempunyai peran dan fungsi yang lebih besar.
Manifestasi ketidakadilan gender tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan kaum perempuan secara mantap, yang mengakibatkan ketidak adilan tersebut merupakan kebiasaan dan akhirnya dipercaya peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat dan akhirnya diterima masyarakat secara umum.
Ada lagi beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan gender, yaitu[5] masyarakat punya pandangan bahwa pendidikan perempuan sebaiknya lebih rendah dari laki-laki karena ia “hanya” bertangguang jawab dirumah.
Pandangan masyarakat lainnya adalah bahwa gaji perempuan dan jaminan sosial yang diterimanya harus lebih rendah dari laki-laki karena perempuan “hanya” pencari nafkah tambahan. Ada lagi bahwa jabatan publik perempuan seharusnya lebih rendah dari laki-laki karena perempuan bersifat femini, tidak mampu memimpin, kurang mandiri dan sebagainya.
[1]
Kamanto Sunarto, Pengantar
Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2004), hal. 111-113.
[2]
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik: Studi Tentang Kualitas
Kestaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 40-43.
[3]
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, Kebijakan
Publik Pro Gender, (Surakarta: UNS Press, 2009), hal. 32.
[4]
Trisakti Handayani dkk, Konsep
dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 10-11.
[5]
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, Kebijakan
Publik..., hal. 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar