1. Progresivisme
Progesifisme dalam dunia pendidikan muncul sbagai reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode formal mengajar. Pendidikan pada progresivisme berpusat pada siswa.[1]Progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.[2]
Progesifisme dalam dunia pendidikan muncul sbagai reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode formal mengajar. Pendidikan pada progresivisme berpusat pada siswa.[1]Progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.[2]
Sumber Gambar: m.facebook.com
Adapun prinsip-prinsip progresif:[3]
- Proses pendidikan menemukan asal-muasal dan tujuannya pada anak
- Subjek-subjek didik adalah aktif bukan pasif
- Peran guru sebagai penasihat, pembimbing, dan pemandu, daripada sebagai rujukan otoriter (tidak bisa dibantah) dan pengarah ruang kelas
- Sekolah adalah sebuah dunia kecil (miniatur) masyarakat besar
- Aktivitas ruang kelas memfokuskan pada pemecahan masalah daripada metode artifisial (bantuan) untuk pengajaran materi kajian
- Atmosfer sosial sekolah harus kooperatif dan demokratis
2. Humanisme
Humanis berkaitan dengan progresif. Prinsip-prinsipnya hampir sama dengan progresif diantaranya keterpusatan pada anak, guru tidak otoriter, peserta didik terlibat aktif, pendidikan yang kooperatif dan demokratis.
Humanistik pendidikan memiliki keinginan untuk mewujudkan lingkungan belajar dimana anak akan terbebas dari kompetisi yang seru, kedisiplinan yang keras, dan takut gagal. Humanis juga ingin mewujudkan hubngan pendidikan yang diresapi dengan kepercayaan serta rasa aman.[4]
3. Prenialisme
Pandangan ini selalu meyakini adanya nilai dan norma-norma dalam hidup ini yang bersifat abadi. Atas dasar itu, perenialisme memandang pola perkembangan kebudayn sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada sebelumnya. Perenialisme lahir akibat dari lahirnya progresifime suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya suatu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Kaum perenialis memfokuskan tujuan pendidikan pada ide gagasan yang luhur menyejarah dari budaya manusia.[5]
Prinsip-prinsip perenialisme:[6]
Humanis berkaitan dengan progresif. Prinsip-prinsipnya hampir sama dengan progresif diantaranya keterpusatan pada anak, guru tidak otoriter, peserta didik terlibat aktif, pendidikan yang kooperatif dan demokratis.
Humanistik pendidikan memiliki keinginan untuk mewujudkan lingkungan belajar dimana anak akan terbebas dari kompetisi yang seru, kedisiplinan yang keras, dan takut gagal. Humanis juga ingin mewujudkan hubngan pendidikan yang diresapi dengan kepercayaan serta rasa aman.[4]
3. Prenialisme
Pandangan ini selalu meyakini adanya nilai dan norma-norma dalam hidup ini yang bersifat abadi. Atas dasar itu, perenialisme memandang pola perkembangan kebudayn sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada sebelumnya. Perenialisme lahir akibat dari lahirnya progresifime suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya suatu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Kaum perenialis memfokuskan tujuan pendidikan pada ide gagasan yang luhur menyejarah dari budaya manusia.[5]
Prinsip-prinsip perenialisme:[6]
- Manusia adalah hewan rasional
- Hakikat (watak) dasar manusia secara universal tak berubah, oleh karena itu pendidikan harus sama untuk setiap orang.
- Pengetahuan secara universal tak berubah, karena itu, ada materi kajian dasar tertentu yang harus diajarkan pada semua manusia.
- Materi kajian, bukan subjek didik, harus berada pada inti usaha serius kependidikan.
- Karya-karya besar pada masa lampau adalah sebuah gudang pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah teruji waktu dan relevan dengan masa kini.
- Pengalaman pendidikan adalah lebih dari sebuah persiapan untuk hidup daripada sebuah kondisi kehidupan yang riil.
4. Esensialisme
Istilah esensi oleh para ahli esensialisme diartikan sebagai ciri tetap yang ada pada setiap seuatu yang ada. Ia adalah sesuatu yang bersifat konstan, kekal, tidak bisa berubah dan berdifat abadi. Esesnsialisme memandang pendidikan harus memiliki niai-nila yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilah yang mempunyai tata yang jelas.[7]
Prinsip-prinsip esensialiasme:[8]
Istilah esensi oleh para ahli esensialisme diartikan sebagai ciri tetap yang ada pada setiap seuatu yang ada. Ia adalah sesuatu yang bersifat konstan, kekal, tidak bisa berubah dan berdifat abadi. Esesnsialisme memandang pendidikan harus memiliki niai-nila yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilah yang mempunyai tata yang jelas.[7]
Prinsip-prinsip esensialiasme:[8]
- Tugas pertama sekolah adalah mengajarkan pengetahuan dasariah
- Belajar adalah usaha keras dan menuntut kedisiplinan
- Guru adalah lokus otoritas ruang kelas
5. Rekontruksionisme
Dalam konteks filsafat aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaaan yang bercorak modern.[9]
Prinsip-Prinsip Rekonstruksionisme:[10]
Dalam konteks filsafat aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaaan yang bercorak modern.[9]
Prinsip-Prinsip Rekonstruksionisme:[10]
- Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis, jika praktik-praktik yang ada sekarang ini tidak di balik (diubah secara mendasar), maka peradaban yang kita kenal ini akan mengalami kehancuran
- Solusi efektif satu-satunya bagi persoalan-persoalan dunia kita adalah penciptaan tatanan sosial yang menjagat
- Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial
- Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan asali jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia
- Jika pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial
6. Behaviorisme
Behaviorisme adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme, termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan, dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati.[11]
Prinsip-prinsip behavioristik:[12]
Behaviorisme adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme, termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan, dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati.[11]
Prinsip-prinsip behavioristik:[12]
- Manusia adalah sebuh binatang yang berkembang tinggi dan ia belajar sebagaimana binatang-binatang lain belajar
- Pendidikan adalah sebuah proses rekayasa tingkah laku
- Peran guru adalah menciptakan sebuah lingkaran belajar yang efektif
- Efisiensi, ekonomi, ketepatan, dan objektivitas meupakan pertimbangan-pertimbangan nilai inti dalam pendidikan
Filsafat Analitis dan Pendidikan
Filsafat analitis adalah sebuah istilah payung yang mencakup sejumlah pemikiran yang berbeda yang merujuk pada sebutan-sebutan semisal: positivisme logis, empirisme logis, analisis linguistik, atomismelogis dan analisis Oxford.
Adapun peran filsafat analitis ini berbeda dengan aliran filsafat yang lainnya. Peran filsafat analitis menurut Peters (seorang filsuf analitis terkemuka) adalah menentukan arahan-arahan tingkat tinggi bagi pendidikan di bawah pedoman hukum analitis. Pada dasarnya filsafat pendidikan tidak untuk mengembangkan ideologi pendidikan baru, melainkan membantu memahami secara lebih baik makna ideologi yang ada sekarang. Kalangan analis beranggapan bahwa banyak persoalan bahasa inti. Jadi bila kita mampu memecahkan persoalan bahasa, maka kita dapat mengurai secara lebih baik persoalan pendidikan.[13]
Filsafat analitis adalah sebuah istilah payung yang mencakup sejumlah pemikiran yang berbeda yang merujuk pada sebutan-sebutan semisal: positivisme logis, empirisme logis, analisis linguistik, atomismelogis dan analisis Oxford.
Adapun peran filsafat analitis ini berbeda dengan aliran filsafat yang lainnya. Peran filsafat analitis menurut Peters (seorang filsuf analitis terkemuka) adalah menentukan arahan-arahan tingkat tinggi bagi pendidikan di bawah pedoman hukum analitis. Pada dasarnya filsafat pendidikan tidak untuk mengembangkan ideologi pendidikan baru, melainkan membantu memahami secara lebih baik makna ideologi yang ada sekarang. Kalangan analis beranggapan bahwa banyak persoalan bahasa inti. Jadi bila kita mampu memecahkan persoalan bahasa, maka kita dapat mengurai secara lebih baik persoalan pendidikan.[13]
Ke Arah Filsafat Personal Pendidikan
Setiap pendidik memerlukan sebuah filsafat pendidikan yang dipertimbangkan sepenuhnya dan diuji secara sadar jika ia bertindak mendayagunakan waktu yang dimiliki dan energi siswanya. Pendidik memiliki kewajiban mengembangkan dan bertindak atas dasar sebuah filsafat pendidikan yang direnungkan secara baik. Sebuah renungan filsafat pendidikan akan mempunyai nilai jika ia menjadi sarana menuju suatu tujuan. Karena dengan tujuan demikian maka akan menjadikan praktik pendidikan yang lebih berdaya guna. Perlu disadari bahwa pembangunan filsafat adalah sebuah proses yang terus berlanjut. Sebagai seorang pendidik harus senantiasa mendapatkan pencerahan baru dan seiring dengan meluasnya pengetahuan dan pengalaman praktis, maka selalu mengembangkan filsafatnya. Pendidik yang berhasil adalah pendidik yang terus berpikir.[14]
Setiap pendidik memerlukan sebuah filsafat pendidikan yang dipertimbangkan sepenuhnya dan diuji secara sadar jika ia bertindak mendayagunakan waktu yang dimiliki dan energi siswanya. Pendidik memiliki kewajiban mengembangkan dan bertindak atas dasar sebuah filsafat pendidikan yang direnungkan secara baik. Sebuah renungan filsafat pendidikan akan mempunyai nilai jika ia menjadi sarana menuju suatu tujuan. Karena dengan tujuan demikian maka akan menjadikan praktik pendidikan yang lebih berdaya guna. Perlu disadari bahwa pembangunan filsafat adalah sebuah proses yang terus berlanjut. Sebagai seorang pendidik harus senantiasa mendapatkan pencerahan baru dan seiring dengan meluasnya pengetahuan dan pengalaman praktis, maka selalu mengembangkan filsafatnya. Pendidik yang berhasil adalah pendidik yang terus berpikir.[14]
[1] George R. Knight, Issues and Alternatives in
Educational Philosophy diterj. Mahmud Arif, Filsafat Pendidikan,
(Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 145-146.
[2] Imam Barnadib,
Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2013), hal. 26.
[3] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal. 148-155.
[5] Teguh Wangsa
Gandhi, Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 163.
[6] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal. 169-175.
[7] Teguh Wangsa
Gandhi, Filsafat Pendidikan..., hal. 159.
[8] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal. 178-180.
[9] Teguh Wangsa
Gandhi, Filsafat Pendidikan..., hal. 189.
[10] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal. 185-190.
[11] Teguh Wangsa
Gandhi, Filsafat Pendidikan..., hal. 194.
[12] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal. 197-201.
[13] Ibid.,
hal.212-214.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar