Filsafat Tradisional dan Pendidikan
1. Idealisme
Idealisme dalam filsafat adalah aliran pemikiran filsafat yang kental dengan corak metafisik. Idealisme memandang bahwa realitas itu tidak lain adalah ide-ide, akal, pikiran, atau jiwa, bukan benda-benda material ataupun kekuasaan.[1]
Idealisme pada intinya adalah penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran dan akal-pikir. Idealisme lebih menekankan pada akal-pikir sebelum materi. Idealisme menganggap bahwa akal-pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal-pikir atau jiwa.[2]
1. Idealisme
Idealisme dalam filsafat adalah aliran pemikiran filsafat yang kental dengan corak metafisik. Idealisme memandang bahwa realitas itu tidak lain adalah ide-ide, akal, pikiran, atau jiwa, bukan benda-benda material ataupun kekuasaan.[1]
Idealisme pada intinya adalah penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran dan akal-pikir. Idealisme lebih menekankan pada akal-pikir sebelum materi. Idealisme menganggap bahwa akal-pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal-pikir atau jiwa.[2]
Menurut para penganut idealisme, pendidikan bertujuan membantu mengembangkan pikiran dan diri pribadi (self) siswa. Karena bakat tiap orang berbeda maka pendidikan harus diberikan sesuai dengan bakat orang tersebut. Metode yang digunakan dalam mengajar harus mendorong siswa untuk memperluas cakrawala, mendorong berfikir reflektif, mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan ketrampilan logis, memberikan ksempatan menggunakan pengetahuan dll.
Idealisme memandang bahwa pendidikan bagi kehidupan sosial bertujuan membentuk persaudaraan antar sesama manusia sehigga terciptanya hubungan manusia yang saling pengertian dan saling menyayangi.[3]
2. Realisme
Menurut penganut aliran ini, realitas puncak bukanlah ada didalam lingkup akal-pikir (mind). Alam semesta tersusun dari materi yang bergerak, sehingga ia adalah dunia fisik dimana manusia tinggal di dalamnya .[4]
Menurut John Locke bahwa akal-pikir jiwa manusia itu seperti tabula rasa, ruang kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh karena itu pendidikan dibutuhkan untuk membentuk setiap individu agar mereka sesuai dengan apa yang dipandang baik. Jadi pendidikan seperti halnya pelaksanaan psikologi behaviourisme dalam pengajaran.[5]
3. Neoskolastisisme
Neoskolastisisme adalah sebuah gerakan intelektual yang berkembang di Eropa (1050 M sampai 1350M) . Esensi dari skolatisisme adalah rasionalisme, Neoskolatisisme adalah bentuk baru dari skolatisisme dengan penekanan pada, dan seruan terhadap, rasio manusia. Karena itu neoskolatisisme merupakan pengungkapan modern filsafat tradisional.[6]
Pandangan penganut neoskolastisisme terhadap pendidikan yaitu sekolah membantu para pelajar mengembangkan kemampuan-kemampuannya. Sedangkan guru merupakan orang berdisiplin mental dengan kemampuan mengembangkan rasio, ingatan, dan daya kemauan pada diri anak didiknya. Berkaitan dengan kurikulum penganut neoskolastisisme menekankan pada materi yang berkaitan dengan aspek intelektual dan spiritual dari kebudayaan.[7]
Filsafat-filsafat Modern dan Pendidikan
1. Pragmatisme
Bagi John Dewey, yang terpenting bukan benar tidaknya pengetahuan melainkan sejauhmana kita bisa memecahkan masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat manusia dalam kenyataan hidup. Selanjutnya ia berpendapat bahwa yang menjadi ukuran adalah kegunaan untuk umum. Daya pikir dan daya tahu itu merupakan sarana. Bukan konsep-konsep sendiri yang benar, tetapi ide-ide baru menjadi benar dalam rangka proses penggunaan oleh manusia.[8]
Bagi kalangan pragmatis, pengalaman sekolah merupakan sebuah bagian dari hidup daripada sekedar sebuah persiapan untuk hidup, jadi dalam hidup itu siswa mampu menghadapi masalah-masalah yang timbul. Seorang guru dalam pandangan pragmatis merupakan pendamping bagi subjek didik dalam pengalaman pendidikan karena seluruh aktivitas kelas setiap harinya menghadapi dunia yang berubah.[9]
2. Eksistensialisme
Secara terminologi, eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar “existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya: “ex”: keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dan keluar dari diri sendiri.[10] Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.[11]
Pandangan utama kaum eksistensialisme terhadap pendidikan terutama siswa, untuk membantu kedirian individu untuk sampai pada realisasi yang lebih utuh menyangkut preposisi berikut:[12]
a. Aku adalah subjek yang memilih, tidak bisa menghindari memilih caraku menjalani hidup
b. Aku adalah subjek yang bebas, sepenuhnya bebas untuk mencanangkan tujuan-tujuan kehidupan sendiri
c. Aku adalah subjek yang bertanggung jawab, secara pribadi mempertanggungjawabkan akan pilihan bebaskukarena hal itu terungkapkan dalam bagaimana aku menjalani kehidupanku Sedangkan guru berperan membantu subjek didik mengeksplorasi jawaban-jawaban yang mungkin.
Baca Juga: Teori-teori Pendidikan Kontemporer
[1] Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab
Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 129.
[2] George R. Knight, Issues and Alternatives in
Educational Philosophy diterj. Mahmud Arif, Filsafat Pendidikan,
(Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 67.
[3] Teguh Wangsa
Gandhi, Filsafat Pendidikan..., hal. 138-139.
[4] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal. 84.
[5] Teguh Wangsa
Gandhi, Filsafat Pendidikan..., hal. 143.
[6] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal.
91-93.
[8] Bachri
Ghazali, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005), hal. 91.
[9] George R.
Knight, Issues and Alternatives..., hal. 19-120.
[10] Atang Abdul
Karim, dkk, Filsafat Umum: Dari Metode Sampai Teofilosofi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hal. 333.
[11] Muzairi, Filsafat
Umum, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), hal. 144.
[12] George R.
Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy diterj. Mahmud
Arif, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal.136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar