Optimis Vs Pesimis - Kumpulan2 Makalah PAI

Latest

Sebuah kumpulan-kumpulan makalah PAI


BANNER 728X90

Jumat, 25 Desember 2015

Optimis Vs Pesimis

Pengertian Optimisme

Optimisme berasal dari akar kata optimis dan isme (paham, aliran). Optimis artinya sikap pandangan hidup yang dalam segala hal dipandang kebaikannya saja. Adapun isme berarti paham. Jadi optimisme secara etimologi berarti suatu sikap pandangan hidup yang memandang segi-segi kehidupan dari segi kebaikannya.

Optimisme mengasumsikan mengenai harapan seseorang dalam menghadapi kehidupan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa arti optimis adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal bentuk apapun.[1]

Sumber Gambar: allescacas.blogspot.com

a) optimisme dalam perspektif Islam

Optimis dalam Islam, khususnya dalam Ilmu Tasauf yang mempelajari tentang diri manusia, lebih dikenal dengan istilah raja’. Raja’ (harapan) merupakan suatu maqam bagi orang yang berjalan menuju Allah dan hal (sifat mental) bagi orang yang menuntut dan ingin mencapai ketinggian budi.

b) Optimisme menurut para Ahli

1. James Drever dalam buku Kamus Psikologi :

Optimis adalah sikap pada bagian individu dalam menghadapi kehidupan atau kejadian-kejadian tertentu, yang cenderung, kadang-kadang sangat kuat untuk menduduki sisi yang penuh dengan harapan: sebuah filsafat hidup dan filsafat alam raya, dicirikan dengan pandangan bahwa “inilah yang terbaik dari semua dunia yang mungkin”.

2. Lorens Bagus

Optimisme dalam pengertian psikologi merupakan sikap pikiran yang condong melihat segala sesuatu dari seginya yang baik (afirmasi) terhadap dunia, keterbukaan pada dunia.

3. Ibnu Qudamah al-Muqadasi

Optimis adalah sesuatu yang terlintas di dalam hati yang merupakan harapan pada masa yang akan datang. Rasa lapang dada karena menantikan yang diharapkan dimana hal yang diharapkan itu memang mungkin terjadi.

4. Imam Qusyairi

Optimis adalah terpikat hati kepada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

5. Imam al-Ghazali

Hakikat Optimis adalah kelapangan hati dalam menantikan hal yang diharapkan pada masa yang akan datang dalam hal yang mungkin terjadi.[2]

Pengertian Pesimisme
Pesimis adalah kondisi pikiran yang melihat dunia ini selalu negatif. Sikap pesimistis sangat berbahaya bagi akal dan bagi tercapainya cita-cita.[3] Karena pesimis adalah sikap putus asa, sebuah sikap yang menganggap tidak ada lagi harapan positif. Pesimis dengan sikap putus asa adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Pesimis menyebabkan kita putus asa, dan penyebab putus asa adalah pesimis.Biasanya salah satu penyebab pesimis adalah iman yang lemah bahkan orang yang tidak punya iman.
Ketika mengalami kesedihan atau penderitaan, manusia cenderung menjadi peka. Dalam keadaan yang demikian itu sifat pesimis dapat muncul sebagai akibat dari pemberontakan yang kuat didalam emosi dan perasaan seseorang. Sifat pesimis yang memasuki pikiran dengan cara seperti ini meninggalkan pengaruhnya pada proses pemikiran manusia.[4]
Sebaiknya orang yang dihinggapi oleh penyakit pesimisme bangkit melawan dan menyerangnya dengan sekuat tenaga. Ia tidak boleh memberi kesempatan kepada setan untuk memperlemah semangatnya dan berbuat maksiat kepada Tuhan. Hendaklah ia menyakini bahwa takdir Tuhan pasti berlaku bagi dirinya dan rezekinya pasti datang mencarinya, sedangkan usaha yang dilakukanya hanyalah sekedar ikhtiar dan sebab.[5] Kita juga harus membangun sifat optimisme dalam diri kita. Jika penyebabnya adalah lemah atau bahkan tidak ada iman, maka jika ada setitik saja rasa putus asa dalam diri kita, maka kita harus terus-menerus meningkatkan keimanan kita. Tentu dengan iman yang sebenar-benarnya iman. Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Apabila kamu berburuk sangka, janganlah berusaha membuktikan kebenaranya, apakah kamu dengki, janganlah berbuat zalim, dan apabila kamu pesimis, jangan mundur dan bergegaslah(buanglah sifat pesimistis yang mengganggu langkahmu dalam bekerja kemudian bekerjalah) dan bertawakallah kepada Allah.”[6]
Rasulullah SAW. Bersabda, “sesugguhnya dalam jiwa manusia ada tiga hal, yaitu pesimisme, buruk sangka, dan dengki. Penyelamat manusia dari pesimisme adalah tidak mundur dalam berusaha, penyelamatnya dari buruk sangka ialah tidak berusaha membuktikan kebenaran dugaanya yang buruk itu, dan penyelamatnya dari dengki adalah tidak bertindak zalim kepada orang yang didengkinya.” Rasulullah SAW. Juga bersabda, “Penghapus pesimisme adalah tawakal kepada Allah Ta’ala.”[7]
Tidak ada pencapaian dan kebaikan dari orang yang pesimis. Dia memiliki segudang alasan, logika, dan faktwa bahwa dia tidak perlu berusaha lagi. Jika tidak berusaha, maka dia tidak akan pernah mendapatkan apa-apa. Dia bahkan tidak mau berdakwah karena tidak akan ada gunanya menurut dia. Orang yang menderita rasa pesimisme dengan jelas mengalami suatu perasaan kesepian dan ceriga ketika berurusan dengan orang lain. Sebagai akibat dari keadaan yang tidak menyenangkan ini, orang-orang tersebut menghancurkan bakat dan kemampuan mereka untuk maju dan berkembang. Dan menghindari kehidupan yang tidk diinginkannya. Dari kenyataan ini, sifat pesimisme didapati sebagia faktor utama dalam penyebab bunuh diri.[8]

Kebalikan dari sikap optimis adalah sifat pesimis. Sifat pesimis dapat diartikan berprasangka buruk terhadap Allah SWT. Seseorang yang pesimis biasanya selalu khawatir akan memperoleh kegagalan, kekalahan, kerugian atau bencana, sehingga ia tidak mau berusaha untuk mencoba.

Baca Juga: Perbedaan Orang Optimis dan Orang Pesimis

[1] Karno Raditya, Optimis Boleh, Tapi Jangan Takabur, (Online), Tersedia: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Optimis+Boleh,+Tapi+Jangan+Takabur!&dn=20090626164543. (diakses jam 02.00 hari Minggu 27maret 2014)
[2] Ghufron, M. Nur dan Rini Risnawati S, Teori-Teori Psikologi, (Yogyakarta: Ar- Ruaa Media, 2010), hal. 96-97.
[3] Abu Al-hasan Ali Al-Bashari Al-Mawardi, Etika Jiwa, (Bandung: PUSTAKA SETIA, 2002), hal. 153.
[4] Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Psikologi Islam, Membangun Kembali Moral Generasi Muda, (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1995), hal. 37.
[5] Abu Al-hasan Ali Al-Bashari Al-Mawardi, Etika Jiwa, (Bandung: PUSTAKA SETIA, 2002), hal. 156.
[6] Ibid., hal. 154.
[7] Ibid., hal. 156.
[8] Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Psikologi Islam, Membangun Kembali Moral Generasi Muda, (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1995), hal. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar